Minggu, 09 Juni 2013

Pernikahan Dini

Pernikahan Dini

 
            Pernikahan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota. Usia perkawinan yang terlalu muda mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami istri. Meskipun batas umur pernikahan telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat (1) UU No. I tahun 1974, yaitu perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun, dalam prakteknya masih banyak dijumpai pernikahan pada usia muda atau di bawah umur, padahal pernikahan yang sukses membutuhkan kedewasaan tanggung jawab secara fisik maupun mental untuk bisa mewujudkan harapan yang ideal dalam kehidupan berumah tangga. Peranan orang tua sangat besar artinya bagi psikologis anak-anaknya. Mengingat keluarga adalah tempat pertama bagi tumbuh perkembangan anak sejak lahir hingga dengan dewasa maka pola asuh anak dalam perlu disebarluaskan pada setiap keluarga.
            Pernikahan dini adalah sebuah pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah delapan belas tahun. Secara fisik, pemuda masa kini menjadi dewasa lebih cepat daripada generasi-generasi sebelumnya. Akan tetapi, secara emosional mereka menempuh waktu jauh lebih panjang untuk mengembangkan kedewasaan. Kesenjangan antara kematangan fisik yang datang lebih cepat dan kedewasaan emosional yang terlambat menyebabkan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial. Kematangan fisik, misalnya menjadikan kelenjar-kelenjar seksual mulai bekerja aktif untuk menghasilkan hormon-hormon yang dibutuhkan. Hal tersebut menyebabkan terjadinya dorongan untuk menyukai lawan jenis, sebagai manifestasi dari kebutuhan seksual. Pada taraf ini, keinginan untuk mendekati lawan jenis memang banyak disebabkan oleh dorongan seks.
            Menurut teori psikologi, batasan usia masa remaja yaitu antara usia 13 sampai 18 tahun, dengan dimungkinkan terjadinya percepatan sehingga masa remaja datang lebih awal. Percepatan ini disebabkan oleh stimulasi sosial melalui pendidikan yang lebih baik, lingkungan sosial yang lebih mendewasakan, serta rangsangan-rangsangan media massa terutama media audiovisual. Sedangkan  pada usia 18 sampai dengan 22 tahun, seseorang berada pada tahap perkembangan remaja akhir. Jika perkembangannya berjalan normal, seharusnya kita sudah benar-benar menjadi orang yang telah sepenuhnya dewasa selambatnya pada usia 22 tahun.
              Pernikahan dini pada remaja pada dasarnya berdampak pada segi fisik maupun psikis. Dalam konteks beberapa budaya, pernikahan dini bukanlah sebuah masalah karena pernikahan dini sudah menjadi kebiasaan. Tetapi, dalam konsep perkembangan, pernikahan dini akan membawa masalah psikologis yang besar dikemudian hari. Ada dampak negatif dan positif dari pernikahan tersebut. Contoh dampak negatifnya yaitu remaja yang hamil akan lebih mudah menderita anemia, adanya tindakan kekerasan terhadap istri  yang timbul karena tingkat berpikir yang belum matang, serta kesulitan ekonomi dalam rumah tangga. Sedangkan contoh positifnya yaitu menghindari perzinaan dan belajar bertanggung jawab mengurus keluarga.
            Mengacu pada uraian di atas, maka tidak aneh jika banyak bermunculan seminar dan pelatihan yang membahas masalah pernikahan ini, baik itu yang ditujukan bagi mereka yang sedang mempersiapkan pernikahan (pranikah) maupun bagi mereka yang telah menikah dengan segala polemik di dalam rumah tangganya.
        Sebagaimana orang tua, penilaian masyarakat terhadap pernikahan di usia dini sering kali banyak bergantung pada kedewasaan kita. Banyak yang menikah pada usia muda dan masyarakat memberikan penilaian yang sangat positif seperti, “Wah, hebat dia! usia sekian saja sudah berani menikah. Saya dulu sudah tua baru menikah”. Akan tetapi, banyak juga komentar negatif yang muncul ketika ada yang menikah dini karena masyarakat belum melihat ada tanda-tanda kedewasaan, sehingga yang muncul adalah ungkapan, “Sudah tidak tahan apa ya? Usia baru segitu sudah nikah, mau dikasih makan apa anak istri?.
           Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak semua penilaian sosial yang diberikan masyarakat ditentukan oleh tingkat kedewasaan dan sikap kita. Ada kalanya penilaian sosial itu dijatuhkan kepada kita berdasarkan proses belajar yang terus menerus dari masyarakat termasuk di dalamnya hasil rekayasa sosial (social engineering) yang membentuk nilai-nilai baru dalam masyarakat, sehingga paradigma masyarakat sudah terkondisikan dan dapat menerima hal tersebut sebagai sesuatu yang sudah lazim

Referensi :  www.manajemenqolbu.com
               Al-Ghifari, A. 2000. Pernikahan Dini, Dilema Generasi Ekstravaganza. Bandung: Mujahid.